Kamis, 10 Februari 2011

FOKUS: Jauhkan Konflik SARA Dari Sepakbola!


Mari jaga perdamaian di dunia sepakbola Indonesia.

AFF SUZUKI CUP 2008 : Suporter Indonesia. 
(GOAL.com/M. Riso)
AFF SUZUKI CUP 2008 : Suporter Indonesia. (GOAL.com/M. Riso)
    Saya benar-benar prihatin melihat konflik berbau SARA yang ada di Temanggung dan Cikeusik, Banten beberapa hari lalu. Saya merasa sepertinya konflik semacam ini tak boleh terjadi di negara yang penuh keragaman seperti Indonesia.

    Saya pun mendukung penuh pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kemarin di Kupang, Nusa Tenggara Timur ,pada peringatan Hari Pers Nasional ke-65.

    "Jaga kerukunan antarumat beragama. Jika ada kelompok atau organisasi resmi yang selama ini melakukan aksi kekerasan yang hanya meresehkan masyarakat luas, tetapi nyata-nyata banyak menimbulkan korban, penegak hukum agar mencarikan jalan yang sah atau legal, jika perlu dilakukan pembubaran atau pelarangan," ungkap Presiden SBY.

    Sejarah kekerasan dengan latar belakang SARA rentan dan kerap terjadi di Indonesia. Masih ingat di benak kita kerusuhan Sampit, Tarakan dan masih banyak lagi di tempat yang berbeda. Hanya karena kesalahpahaman kecil, konflik kecil bisa berubah menjadi kerusuhan antarsuku, agama, ras dan antargolongan.

    Saya jadi berpikir, kok orang Indonesia gampang sekali emosi? Kok bisa sampai kaya gitu? Apa yang salah ya? Apa karena masyarakatnya sudah tidak lagi percaya dengan pemerintah?

    Well, jujur... pertanyaan itu banyak terbesit di pikiran saya sejak kerusuhan itu. Kompetensi penyelenggara negara untuk mensejahterahkan warganya jadi perhatian tersendiri, termasuk di sepakbola. Bisa jadi karena hal ini banyak kerusuhan terjadi di berbagai tempat, waktu dan momen.

    Khusus di sepakbola, sepertinya media masa kita tak hentinya memberitakan konflik antarsuporter atau suporter dengan aparat keamanan. Ada yang adu pukul dan lempar di dalam stadion, atau malah beberapa jam sebelum pertandingan dimulai. Di Jakarta, Bandung, Tangerang, Yogyakarta dan atau hampir di seluruh penjuru tanah air, ada saja konflik terjadi.

    Sejarah kekerasan di sepakbola sejatinya punya daftar panjang. Sepakbola sendiri selalu identik dengan fanatisme pendukung, yang pada ujungnya menjurus pada perilaku negatif. Kecurangan dan kekalahan menjadi sebuah alasan pembenaran dalam tindakan anarkisme.

    King Edward II, Raja Inggris, pada tahun 1314 sempat menggagas larangan memainkan sepakbola melalui titahnya.

    "Sepakbola adalah permainan setan yang dibenci Tuhan," serunya kala itu.

    Pelarangan ini diikuti beberapa negara di Eropa karena kekerasan yang ditimbulkan dari permainan memperebutkan bola ini. Pada saat itu, sepak bola dianggap kampungan karena menggunakan tengkorak manusia sebagai bola.

    Di Eropa, permainan sepakbola awalnya adalah sebuah permainan yang brutal. Yunani pada 800 tahun sebelum masehi, sejarah mengatakan bahwa sepakbola sudah dikenal disana dengan nama “Episkyro” dan “Harpastrum“. Penulis Romawi, Horatius Flaccus dan Virgilius Maro menyebut Harpastrum sebagai permainan biadab. Suatu kali harpastrum pernah dimainkan oleh lebih dari 100 orang. Karena itu sepak bola lebih mirip kerusuhan massal.

    Di Indonesia, entah kapan kerusuhan di sepakbola mulai terjadi dan membudaya. Hal ini tak bisa dihindari memang, mengingat Indonesia memang negara yang penuh keragaman, beragam ide, pendapat, pemahaman, pengertian dan sebagainya. Hanya saja, jika mereka terlalu meyakini jika apa yang diyakininya, baik itu ide, pendapat dan kepercayaan, dengan tidak menghormati keyakinan pihak lain, orang yang ada di sekitarnya, buntutnya adalah pemaksaan kehendak, konflik dan sejenisnya.

    Harusnya hal semacam itu tak terjadi di sepakbola. Memang sepakbola Indonesia di rezim Nurdin Halid tak pernah beres dengan sistem kompetisi, pembinaan dan kepengurusan yang tidak profesional (menurut saya tentunya, atau juga mungkin Anda?), jadi jangan pula ditambahi dengan konflik berbau SARA. Bisa semakin buruk saja wajah sepakbola Indonesia jadinya, bukan begitu?

    Dan di sinilah kalangan sepakbola Indonesia, mulai dari fans hingga pengurus teras menunjukkan kematangan emosional mereka, menunjukkan mereka bisa menjadi contoh mengatasi perbedaan, dan menjauhkan masalah SARA dari dunia kita.

    Bukankah perdamaian dan cinta kasih, juga menghormati orang lain lebih indah dari kekerasan dan kebencian? Setuju?



    Bergabunglah di Facebook dan Twitter GOAL.com Indonesia.

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar